12 Jul 2011

SYARAT-SYARAT PENDIDIK YANG SUKSES DALAM PENDIDIKAN DAN PENGAJARAN

1. Hendaknya dia mahir dalam profesinya, menguasai metode-metode pengajaran, mencintai tugas-tusas dan anak muridnya, mengerahkan kemampuan dalam mendidik mereka dengan pendidikan yang baik, menambahkan kepada mereka pengetahuan-pengetahuan yang bermanfaat, mengajari mereka akhlaq-akhlaq yang mulia dan berusaha menjauhkan mereka dari kebiasaan-kebiasaan yang jelek. Dialah pendidik sekaligus pengajar pada satu waktu.
2. Hendaknya dia menjadi teladan yang baik bagi selainnya, dalam bentuk ucapan, perbuatan dan gaya hidup dari sisi pelaksanaan kewajibannya kepada Robb-nya, umatnya dan para pelajarnya. Hendaknya guru mencintai kebaikan bagi mereka sebagaimana ia mencintai kebaikan bagi dirinya dan anak-anaknya, memaafkan kesalahan mereka dan berlapang dada serta andaipun menghukum mereka maka menghukum dengan kasih sayang.
Rosululloh sholallohu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Tidak (sempurna) iman salah seorang diantara kalian sampai ia mencintai bagi saudaranya apa yang ia cintai bagi dirinya.” (Muttafaqun ‘Alaih)



3. Diantara syarat menjadi guru yang sukses adalah hendaknya ia mengerjakan apa-apa yang ia perintahkan kepada murid-muridnya, baik berupa adab-adab, akhlaq-akhlaq, dan ilmu-ilmu lainnya. Dan hendaknya menjauhi perbedaan antara ucapan dia sendiri dengan perbuatannya, dan simaklah firman Alloh Ta’ala:
“Wahai orang-orang yang beriman! Mengapa kalian mengatakan sesuatu yang tidak kalian kerjakan?! Sungguh amat besar kemurkaan di sisi Alloh atas mereka yang mengatakan sesuatu yang tidak kalian lakukan” (QS. Ash-Shof: 2-3)
Ini adalah pengingkaran atas orang yang mengatakan suatu ucapan yang dia tidak mengerjakannya.

Dan beliau sholallohu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Yaa Alloh... sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat.” (HR. Muslim)
Maksudnya: yang aku tidak mengamalkannya, tidak aku sampaikan kepada selainku, dan tidak pula memperbaiki akhlaqku.

Berkata penyair:
Wahai orang yang mengajari selainnya
Tidaklah engkau menjadi pengajar untuk dirimu sendiri

4.Wajib atas guru ia mengetahui bahwa tugas yang ia emban sama dengan tugasnya para Nabi yang Alloh Ta’ala mengutus mereka untuk memberi petunjuk kepada manusia dan mengajari mereka serta mengenalkan mereka kepada Robb dan Pencipta mereka. Dan seperti itulah dia (guru) berada dalam kedudukan sebagai ayah dalam kasih sayangnya kepada murid-muridnya dan ia memberikan kecintaannya kepada mereka, dan bahwasanya dia bertanggung jawab atas murid-murid ini: atas kehadiran mereka, memberikan perhatian terhadap pelajaran-pelajaran mereka, bahkan bagus seandainya guru membantu mereka memecahkan permasalahan mereka dan selainnya yang termasuk tanggung jawab pengajar. Beliau sholallohu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Tiap-tiap kalian adalah pemimpin dan tiap-tiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas apa-apa yang dipimpinnya.” (Muttafaqun ‘Alaih)

Dan ketahuilah bahwasanya tanggung jawab di hadapan Alloh tentang murid-muridnya yaitu apa yang ia ajarkan kepada mereka? Dan apakah ia ikhlas dalam membahas metode yang mudah untuk membimbing serta mengarahkan mereka ke arah yang selamat?
Rosululloh  sholallohu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Sesungguhnya Alloh akan beertanya kepada setiap penggembala (pemimpin) tentang apa yang ia gembalakan. Apakah dia mampu menjaganya atau menyia-nyiakannya? Sampai Alloh bertanya kepada seseorang tentang keluarganya.” (HR. An-Nasa’i, dari Anas, dengan sanad hasan)

Kemudian sesungguhnya wajib atasnya berbicara dengan mereka berdasarkan kadar pemahaman mereka. Ali rodhiyallohu ‘anhu berkata:
“Berbicalah kepada manusia dengan apa-papa ketahui. Apakah kalian menyukai Alloh dan Rosul-Nya didustakan?”(Diriwayatkan oleh al-Bukhory dalam al-Ilmu, Bab Orang yang mengkhususkan sebagian orang dari orang lain dalam ilmu)

5. Sesungguhnya guru berdasarkan pekerjaannya ini hidup diantara murid-murid yang berbeda tingkat, baik dari segi akhlaq-akhlaq mereka, pendidikan mereka dan tingkat kecerdasan mereka. Karena itu sesungguhnya wajib atas guru itu ia menerima mereka semua dengan akhlaq-akhlaqnya. Maka ia bagi murid-muridnya berkedudukan seperti ayah bersama anak-anaknya sebagai pengamalan sabda sang pendidik yang besar Nabi kita Muhammad sholallohu ‘alaihi wasallam:
“Hanyalah aku (Nabi) bagi kalian menempati kedudukan sebagai ayah, aku mengajari kalian” (HR. Ahmad dan Abu Dawud, shohih.)

6. Wajib atas guru yang sukses salaing tolong-menolong dengan rekan-rekannya, menasehati rekan-rekannya, salaing bermusyawarah dengan mereka demi kemaslahatan para murid. Hendaknya mereka menjadi panutan yang baik bagi murid-muridnya. Dan atas mereka semua, hendaknya mencontoh Rosululloh sholallohu ‘alaihi wasallam dimana Alloh Ta’ala menjelaskan kepada kaum muslimin dengan firman-Nya:
“Sungguh telah ada pada diri Rosululloh suri tauladan yang baik bagi kalian” (QS. Al-Ahzab: 21)

7. Tawadhu’ dalam ilmu.
Mengakui kebenaran adalah keutamaan. Kembali kepada kebenaran lebih baik daripada trerus-menerus berada dalam kesalahan. Maka wajib atas guru mencontoh para salafush sholih dalam mencari kebenaran dan ketundukannya terhadap kebenaran jika telah jelas bagi mereka bahwa yang benar itu menyelisihi sesuatu yang telah mereka fatwakan atau telah mereka yakini. Dalil atas perkara ini adalah apa yang disebutkan oleh Ibnu Abi Hatim dalam kitab beliau(Muqoddimah al-Jarh wat-Ta’dil) tatkala beliau menyebutkan kisah Malik rohimahulloh dan  ruju’nya beliau dari fatwanya. Tatkala beliau mendengar hadits , beliau sebutkan  dengan judul [Bab apa yang disebutkan tentang ittiba’(pengikutan)nya Malik terhadap atsar(bekas/peninggalan) Nabi sholallohu ‘alaihi wasallam dan beliau mencabut fatwanya tatkala disampaikan hadits dari Nabi sholallohu ‘alaihi wasallam yang menyelisihinya]. Ibnu Wahb berkata: “Saya mendengar Malik ditanya tentang menyela-nyela jari-jari kedua kaki saat wudhu”. Maka Imam Malik menjawab: “Hal itu tidak wajib bagi manusia”. Dia (Ibnu Wahb) berkata: “Maka saya biarkan beliau sampai sepi dari manusia”. Lalu saya berkata kepada beliau: “Menurut kami pada perkara tersebut(jari-jari kedua kaki saat wudhu) ada sunnah”. Maka beliau bertanya: “Apa itu?”. Saya berkata: “Menceritakan kepada kami al-Laits bin Sa’id dan Ibnu Lahi’ah dan ‘Amr bin al-Harits dari Yazid bin ‘Umar al-Mu’afiry dari Abu ‘Abdirrohman al-Habliy dari Mustaurid bin Syadad al-Qurosyi, dia berkata: “Saya melihat Rosululloh sholallohu ‘alaihi wasallam menggosok sela-sela jari kaki dengan kelingking beliau”. Maka Imam Malik berkata: “Sesungguhnya hadits ini hasan. Saya tidak pernah mendengar hadits itu kecuali baru saat ini”. Kemudian setelah kejadian itu, saya (Ibnu Wahb) mendengar beliau jika ditanya (tentang menyela-nyela jari-jari kedua kaki saat wudhu) maka beliau memerintahakan agar menyela-nyelanya. (Lihat Muqoddimah al-Jarh wat Ta’dil, halaman 30)

Seandainya kita mau memperluas contoh-contoh dari kehidupan para salaf maka tidak akan cukup lembaran-lembaran ini. Karena yang wajib bagi guru yang menginginkan keesuksesan dalam profesinya adalah tunduk terhadap kebenaran dan kembali darim kesalahannya jika ia tersalah. Dan mengajarkan akhlaq mulia ini kepada para muridnya, menjelaskan kepada mereka tentang keutamaan kembali kepada kebenaran, serta menerapkan hal itu sebagai praktek di dalam kelas. Jika ia melihat bahwa jawaban sebagian muridnya lebih utama daripada jawabannya, maka hendaknya ia mengumumkan hal itu dan mengakui keunggulan jawaban murid ini, sehingga dengan hal itu akan lebih mendapatkan kepercayaan para muridnya dan kecintaan mereka kepadanya.

Dan sungguh saya hidup sekitar 40 tahun menjadi seorang pengajar dan pendidik. Meski saya coba lupakan, tetapi saya tidak bisa lupa terhadap pengajar yang salah dalam membaca seebuah hadits, ketika sebagian pelajar membantahnya , ia tetap dalam kesalahannya. Namun  ia malah mendebat dengan sesuatu yang bathil. Maka jatuhlah pengajar ini dalam pandangan murid-muridnya dan tidak mendapat kepercayaan mereka.

Dan saya selalu ingat sebagian pengajar yang jujur yang mereka mengakui kesalahan-kesalahan mereka, dan mereka kembali dari kesalahan tersebut. Dan sungguh para muridnya mencintai mereka, dan bertambah kepercayaan para murid kepada mereka sehingga mereka menjadi orang ysng dimuliakan dan dibesarkan.
Alangkah bagusnya jika para guru menelusuri jejek mereka dan menempuh jalan mereka yang kembali kepada kebenaran.

8. Jujur dalam memenuhi janji.
Wajib atas guru ia senantiasa jujur dalam ucapannya, karena sesungguhnya kejujuran itu seluruhnya adalah kebaikan. Dan jangan mendidik para muridnya diatas kedustaan, walaupun menurut pandangannya dalam kedustaan tersebut terdapat kebaikan.
Ada kejadian bahwasanya satu diantara para muridnya bertanya  kepada gurunya tentang pengingkaran terhadap salah seorang guru yang merokok. Maka guru itu menjawabnya dan membela teman seprofesinya bahwa sebab dia merokok adalah atas nasehat dokter kepadanya. Dan tatkala murid ini keluar dari kelas, ia berkata: “Sesungguhnya guru telah membohongi kita”.
Alangkah bagusnya jika ia guru itu jujur  dalam jawabannya, menjelaskan kesalahan teman seprofesinya bahwasanya merokok adalah harom, bahwasanya merokok berbahaya bagi jasad,  menyakiti (mengganggu) tetangga (orang sekitarnya), menghabiskan harta.
Maka jika ia melakukan hal itu, maka ia akan mendapatkan kepercayaan dan kecintaan para pelajarnya. Dan ia mampu mengatakan kepada para pelajarnya: “Sesungguhnya guru termasuk individu dari manusia yang memiliki sifat-sifat kemanusiaan, maka ia kadang benar dan terkadang salah. Inilah Nabi kita Muhammad sholallohu ‘alaihi wasallam menyetujui hal itu dalam haditsnya, beliau bersabda:
“Setiap keturunan anak Adam pasti pernah berbuat salah. dan sebaik-baik orang yang berbuat kesalahan adalah yang bertaubat” (HR. Ahmad, shohih)

Dan sungguh dimungkinkan guru yang ditanya tadi menjadikan pertanyaan muridnya tentang seorang guru yang merokok sebagai bahan pelajaran bagi seluruh muridnya sehingga dapat memahamkan mereka tentang bahaya merokok, hukum syar’inya, fatwa-fatwa ulama tentang perkara tersebut dan dalil-dalil mereka. Maka dengan itu semua akan menjadi berfaidahlah pertanyaan si muridn diterapkan dalam pendidikan dan pengajaran.
Rosululloh sholallohu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Dan senantiasa seseorang itu  jujur dan berusahs untuk selalu jujur sehinggga ditulis di sisi Alloh sebagai orang yang jujur.” (HR. Muslim)
Kejujuran adalah akhlaq yang mulia yang seharusnya seorang guru menanamkannya kepada para muridnya. Menjadikan mereka cinta kepada kejujuran dan membiasakan mereka dengannya, dan hendaknya guru mempraktekkan (kejujuran) dalam ucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatannya. Bahkan sampai bercanda dengan mereka pun seorang guru tetap harus jujur. Sungguh Rosul sholallohu ‘alaihi wasallam dulu bercanda  dan tidaklah beliau berucap kecuali dengan kebenaran. Dan hendaknya seorang guru hati-hati berdusta kepada muridnya walaupun hanya bercanda atau basa-basi. Dan  jika ia menjanjikan sesuatu, maka wajib atasnya memenuhi janjinya sehingga mereka belajar dari gurunya tentang kejujuran, dan harus memenuhi (janji) baik ucapan maupun amalan karena para pelajar telah mengenal kedustaan dan memahaminya walaupun mereka tidak mampu membantah gurunya atau malu kepadanya. Dan sungguh kita telah melihat dalam kisah guru yang  membela temannya yang perokok, bagaimana pelajar mengakui kedustaannya.

9. Sabar.
Wajib atas guru berhias dengan kesabaran atas kesulitan-kesulitan para pelajar dan praktek pembelajaran. Karena kesabaran adalah penolong terbesar dalam pekerjaannya yang mulia.


Yogyakarta, Sabtu, 4 Juni 2011

Abu ‘Abdil Hakim Ahmad Dito



RUJUKAN:
  1. Kitab Nidaa-un ilal Murobbiyiina wal Murobbiyyati, karya asy-Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu rohmatulloh alaihi bai rohmatin wasi’atin, yang disampaikan oleh al-Ustadz Abu Ahmad dalam pelajaran rutin kami di Madrosah Syababussunnah Yogyakarta.
  2. Kamus al-Munawwir
  3. Buku Kiat Sukses Mendidik Anak, terbitan Pustaka Haura’

0 komentar:

Posting Komentar

Design by Abdul Munir Visit Original Post Islamic2 Template