10 Sep 2011

ADAB PENUNTUT ILMU


Oleh: Abdullah Shaleh Al-Hadrami

Mukaddimah:

Segala puji hanya bagi Allah Ta’ala, Shalawat dan salam semoga selalu tercurah kepada Rasulullah –Shallallahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam, keluarga, para sahabat dan pengikut setia mereka sampai hari kiamat, Amma ba’du:

(( Allah Ta’ala telah menjaga pertahanan kaum muslimin dengan mujahidin (orang-orang yang berjihad) dan menjaga syariat Islam dengan para penuntut ilmu, sebagaimana dalam firmanNya:
“Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan diantara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.” (QS. At-Taubah: 122)
Pada ayat tersebut Allah Ta’ala membagi orang-orang beriman menjadi dua kelompok, mewajibkan kepada salah satunya berjihad fi sabilillah dan kepada yang lainnya mempelajari ilmu agama. Sehingga tidak berangkat untuk berjihad semuanya karena hal ini menyebabkan rusaknya syariat dan hilangnya ilmu, dan tidak pula menuntut ilmu semuanya sehingga orang-orang kafir akan mengalahkan agama ini. Karena itulah Allah Ta’ala mengangkat derajat kedua kelompok tersebut.)) –Hilyah al-‘Alim al-Mu’allim, Salim al-Hilaliy hal: 5-6.



(( Yang dimaksud dengan ilmu tersebut adalah ilmu syar’i, yaitu ilmu yang Allah turunkan kepada NabiNya –Shallallahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam berupa keterangan dan petunjuk. Jadi ilmu yang dipuji dan disanjung adalah ilmu wahyu, ilmu yang Allah I  turunkan saja. Sebagaimana sabda Nabi –Shallallahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam : 
“Barangsiapa yang Allah menghendaki padanya kebaikan maka Dia akan menjadikannya mengerti masalah agama.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Beliau –Shallallahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam bersabda pula:
“Sesungguhnya para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham, hanya saja mereka mewariskan ilmu. Maka barangsiapa mengambilnya berarti ia mengambil nasib (bagian) yang banyak.”(HR. Abu-Dawud dan At-Tirmidzi)
Sebagaimana telah kita ketahui bahwasanya yang diwariskan oleh para nabi adalah ilmu syariat Allah Ta’ala dan bukan yang lainnya.)) –Kitab al-‘Ilmi, Syaikh Utsaimin hal: 11

Hukum Menuntut Ilmu Syar’i:

(( Mununtut ilmu syar’i adalah fardlu kifayah yaitu apabila telah mencukupi (para penuntut ilmu) maka bagi yang lain hukumnya adalah sunnah, namun bisa juga menjadi wajib bagi tiap orang atau fardlu ‘ain yaitu ilmu tentang ibadah atau muamalah yang hendak ia kerjakan.)) –Kitab al-‘Ilmi, Syaikh Utsaimin hal: 21

Penuntut Ilmu Hendaklah Menghiasi Dirinya Dengan Adab-Adab Sebagai Berikut:

Pertama: Mengikhlaskan Niat Hanya Karena Allah Ta’ala.

(( Hendaklah dalam menuntut ilmu niatnya adalah wajah Allah Ta’ala dan kampung akhirat, sebagaimana sabda Rasulullah –Shallallahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam :
 “Barangsiapa menuntut ilmu –yang mestinya untuk mencari wajah Allah Ta’ala-, tiadalah ia mempelajarinya melainkan hanya untuk mendapatkan bagian dari dunia, pasti ia tidak akan mendapatkan bau surga pada hari kiamat.”(HR. Ahmad dll). Ini adalah ancaman yang keras.)) –Kitab al-‘Ilmi, Syaikh Utsaimin hal: 25

(( Apabila ilmu telah kehilangan niat yang ikhlas; Berpindahlah ia dari ketaatan yang paling afdhal menjadi penyimpangan yang paling rendah.
Diriwayatkan dari Sufyan ats-Tsauri Rahimahullah berkata: “Tiadalah aku mengobati sesuatu yang lebih berat dari niatku”
Dari Umar bin Dzarr bahwasanya ia berkata kepada ayahnya: Wahai ayahku ! Mengapa orang-orang menangis apabila ayah  menasehati mereka, sedang mereka tidak menangis apabila orang lain yang menasehati mereka? Ayahnya menjawab: “Wahai puteraku ! Tidak sama ratapan seorang ibu yang ditinggal mati anaknya dengan ratapan wanita yang dibayar (untuk meratap).)) –Hilyah Tholibil ‘Ilmi, Bakr Abu Zaid hal: 9-10 .

Kedua: Memberantas Kobodohan Dirinya dan Orang Lain.

Hendaklah dalam menuntut ilmu berniat untuk memberantas kebodohan dari dirinya dan dari orang lain, karena pada dasarnya manusia itu jahil (bodoh), sebagaimana firman Allah Ta’ala:
“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalan keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.”
 (QS. An-Nahl: 78)

Al-Imam Ahmad -rahimahullah berkata:
          “Ilmu itu tiada bandingannya bagi orang yang niatnya benar.” Mereka bertanya: Bagaimakah hal itu?. Beliau menjawab: “Berniat memberantas kebodohan dari dirinya dan dari orang lain.”)) –Kitab al-‘Ilmi, Syaikh Utsaimin hal: 26-27.

Ketiga: Membela Syariat.

(( Hendaklah dalam menuntut ilmu berniat membela syariat, karena kitab-kitab tidak mungkin bisa membela syariat. Tiadalah yang membela syariat melainkan para pengemban syariat. Disamping itu, bid’ah juga selalu muncul silih berganti yang ada kalanya belum pernah terjadi pada jaman dahulu dan tidak ada dalam kitab-kitab sehingga tidak mungkin membela syariat kecuali para penuntut ilmu.)) –Kitab al-‘Ilmi, Syaikh Utsaimin hal: 27-28

(( Alangkah banyaknya kitab dan alangkah banyak pula perbedaan didalamnya ! Seorang muslim tidak lagi tahu apa yang harus ia ambil dan apa yang harus ia tinggalkan? Dari mana memulai dan dimana berakhir ! )) –Wasiyyatu Muwaddi’, Husain al-‘Awayisyah hal: 29-30.

Kempat: Berlapang Dada Dalam Masalah Khilafiyah (Perbedaan Pendapat).

(( Hendaklah selalu berlapang dada dalam menyikapi perbedaan pendapat yang bersumber dari ijtihad. Yaitu permasalahan yang memungkinkan seseorang berpendapat dan terbuka kemungkinan untuk berbeda. Adapun siapa saja yang menyelisihi jalan salafus sholeh –Rahimahumullah dalam masalah aqidah maka hal ini tidak bisa diterima dan ditolelir.)) –Kitab al-‘Ilmi, Syaikh Utsaimin hal: 28-29. Baca pula untuk masalah ini kitab Perpecahan Umat, karya: Dr Nasir al-‘Aql, penerbit Darul Haq Jakarta.

  Kelima: Mengamalkan Ilmu atau Zakat Ilmu.

(( Hendaklah para penuntut ilmu mengamalkan ilmunya, baik berupa aqidah, ibadah, akhlak, adab dan muamalah, karena hal ini adalah merupakan hasil dan buah dari ilmu itu. Pengemban ilmu  itu seperti pembawa senjata; Bisa berguna dan bisa pula mencelakakan sebagaimana sabda Rasulullah –Shallallahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam:
 “Al-Qur’an itu membelamu atau mencelakakanmu” (HR. Muslim).
Membelamu apabila kamu amalkan dan mencelakakanmu apabila tidak kamu amalkan.)) –Kitab al-Ilmi, Syaikh Utsaimin hal: 32

(( Karena keutamaan ilmu itulah ia  semakin bertambah dengan banyaknya nafkah (diamalkan dan diajarkan) dan berkurang apabila kita sayang (tidak diamalkan dan diajarkan) serta yang merusaknya adalah al-kitman (menyembunyikan ilmu).)) –Hilyah Tholibil Ilmi, Bakr Abu Zaid hal: 72.

Keenam: Berdakwah Kepada Allah Ta’ala.

Allah Ta’ala berfirman:
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan ummat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar; mereka itulah orang-orang yang beruntung.”
(QS. Ali ‘Imran: 104)

(( Hendaklah mendakwahkan ilmunya kepada Allah Ta’ala dalam berbagai kesempatan, baik di masjid, di majlis-majlis, di pasar dan diberbagai kesempatan.)) –Kitab al-Ilmi, Syaikh Utsaimin hal: 37-38.

Ketujuh: Hikmah.

(( Hendaklah menghiasi dirinya dengan hikmah. Apabila kita menempuh cara ini pastilah kita mendapatkan kebaikan yang sangat banyak, sebagaimana firman Allah Ta’ala:
“Dan barangsiapa yang dianugrahi al-hikmah itu, ia benar-benar telah dianugrahi karunia yang banyak.”
(QS. Al-Baqarah: 269)
Al-Hakim (orang yang bijaksana) adalah orang yang menempatkan sesuatu pada tempatnya. Allah Ta’ala telah menyebutkan tingkatan-tingkatan dakwah dalam firmanNya:
“Serulah (manusia) kejalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.”
 (QS. An-Nahl: 125)
Dan Allah Ta’ala menyebutkan pula tingkatan keempat tentang berdebat dengan ahli kitab dalam firmanNya:
 “Dan janganlah kamu berdebat dengan ahli kitab, melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang dzalim diantara mereka.”
(Al-‘Ankabut: 46).)) –Kitab al-Ilmi, Syaikh Utsaimin hal: 37-38.

Kedelapan: Sabar Dalam Menuntut Ilmu.

(( Hendaklah sabar dalam menuntut ilmu, tidak terputus (ditengah jalan) dan tidak pula bosan, bahkan terus-menerus menuntut ilmu semampunya.
Kisah tentang kesabaran salafus shalih –Rahimahullah dalam menuntut ilmu sangatlah banyak, sebagaimana diriwayatkan dari Ibn Abbas –Radhiallahu ‘Anhuma bahwa beliau ditanya oleh seseorang: Dengan apa anda bisa mendapatkan ilmu? Beliau menjawab: “Dengan lisan yang selalu bertanya dan hati yang selalu memahami serta badan yang tidak pernah bosan.)) –Kitab al-Ilmi, Syaikh Utsaimin hal: 40 dan 61

(( Bahkan sebagian dari mereka (salafus shalih) merasakan sakit yang menyebabkannya tidak bisa bangun dikarenakan tertinggal satu hadis saja. Sebagaimana terjadi kepada Syu’bah bin al-Hajjaj –Rahimahullahرia berkata: “ketika aku belajar hadis dan tertinggal (satu hadis) maka akupun menjadi sakit.”
Barangsiapa mengetahui keutamaan ilmu dan merasakan kelezatannya pastilah ia selalu ingin menambah dan mengupayakannya, ia selalu lapar (ilmu) dan tidak pernah kenyang sebagaimana sabda Rasulullah–Shallallahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam: “Ada dua kelompok manusia yang selalu lapar dan tidak pernah kenyang: Orang yang lapar ilmu tidak pernah kenyang dan orang yang lapar dunia tidak pernah kenyang pula.” (HR. Al-Hakim dll dengan sanad tsabit).)) –Hilyah al-‘Alim al-Mu’allim, Syaikh Salim al-Hilaliy hal: 22-23

(( Abu al-‘Aliyah -Rahimahullah menuturkan: Kami mendengar riwayat (hadis) dari Rasulullah –Shallallahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam sedang kami berada di Basrah (Iraq), lalu kamipun tidak puas sehingga kami berangkat ke kota Madinah agar mendengar dari mulut mereka (para perawinya) secara langsung.)) –‘Audah ila as-Sunnah, Syaikh Ali Hasan al-Atsariy hal: 44.

Kesembilan: Menghormati dan Menghargai Ulama.

(( Hendaklah para penuntut ilmu menghormati dan menghargai para ulama dan berlapang dada dalam menyikapi perbedaan pendapat diantara  mereka serta memberi udzur (alasan) kepada para ulama yang menurut keyakinan mereka telah berbuat kesalahan. Ini adalah masalah yang sangat penting, karena sebagian orang sengaja mencari-cari kesalahan orang lain untuk menjatuhkan mereka dimata masyarakat. Ini adalah kesalahan terbesar.)) –Kitab al-Ilmi, Syaikh Utsaimin hal: 41
 
(( Hendaklah menghormati majelis (ilmu) dan menampakkan kesenangan terhadap pelajaran serta mengambil faedahnya. Apabila seorang syaikh (guru) melakukan suatu kesalahan atau kekeliruan maka janganlah hal itu membuatnya jatuh dihadapanmu, karena hal ini menjadikanmu tidak lagi mendapatkan ilmunya. Siapasih orang yang tidak pernah berbuat kesalahan?.
Jangan sekali-kali memancing kemarahannya dengan “Perang urat syaraf”, yaitu menguji kemampuan ilmu dan kesabarannya.
Apabila anda hendak berguru ke orang lain maka mintalah ijin kepadanya, karena hal ini menjadikannya selalu menghormatimu, semakin cinta dan sayang kepadamu.)) –Hilyah Tholibil Ilmi, Bakr Abu Zaid hal: 36.

Kesepuluh: Memegang Teguh Al-Kitab dan As –Sunnah.

(( Wajib bagi para penuntut ilmu untuk mengambil ilmu dari sumbernya yang tidak mungkin seseorang sukses bila tidak memulai darinya, yaitu:
1- Al-Qur’anul Karim; Wajib bagi para penuntut ilmu untuk berupaya membaca,                 menghafal, memahami dan mengamalkannya.
2-      As-Sunnah As-Shahihah; Ini adalah sumber kedua  syariat Islam (setelah al-Qur’an) dan penjelas al-Qur’anul Karim
3-      Sumber ketiga adalah ucapan para ulama, janganlah anda menyepelekan ucapan para ulama karena mereka lebih mantap ilmunya dari anda )) –Kitab al-Ilmi, Syaikh Utsaimin hal: 43,44 dan 45.

Kesebelas: At-Tatsabbut dan Ats-Tsabat.

(( Termasuk adab terpenting yang wajib dimiliki oleh penuntut ilmu adalah; At-tatsabbut. Yang dimaksud dengan at-tatsabbut adalah berhati-hati dalam menukil berita dan ketika berbicara.
Adapun ats-tsabat adalah sabar dan tabah untuk tidak bosan dan marah, dan agar tidak mengambil ilmu hanya secuil-secuil saja lalu ia tinggalkan, karena hal ini berdampak negatif dan menyia-nyiakan waktu tanpa faedah.)) –Kitab al-Ilmi, Syaikh Utsaimin hal: 50.

Keduabelas: Berupaya Untuk Memahami Maksud Allah Ta’ala dan RasulNya –Shallallahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam  

(( Termasuk adab terpenting pula adalah masalah pemahaman tentang maksud Allah Ta’ala dan juga maksud Rasulullah –Shallallahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam; Karena banyak orang yang diberi ilmu namun tidak diberi pemahaman. Tidak cukup hanya menghapal al-Qur’an dan al-Hadis saja tanpa memahaminya, jadi harus dipahami maksud Allah Ta'ala dan RasulNya –Shallallahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam. Alangkah banyaknya penyimpangan yang dilakukan oleh kaum yang berdalil dengan nas-nas yang tidak sesuai dengan maksud Allah Ta’ala dan RasulNya –Shallallahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam sehingga timbullah kesesatan karenanya. Kesalahan dalam pemahaman lebih berbahaya dari pada kesalahan dikarenakan kebodohan. Seorang yang jahil (bodoh) apabila melakukan kesalahan dikarenakan kebodohannya ia akan segera menyadarinya dan belajar, adapun seorang yang salah dalam memahami sesuatu ia tidak akan pernah merasa salah dan bahkan selalu merasa benar)) –Kitab al-Ilmi, Syaikh Utsaimin hal: 52.

Inilah sebagian dari adab yang harus dimiliki oleh para penuntut ilmu agar menjadi suri tauladan yang baik dan mendapatkan kesuksesan di dunia dan di akhirat, amien.

Maraji’:
-       Al-Qur’anul Karim dan Terjemahnya, hadiah dari Kerajaan Saudi Arabia.
-       Kitab Al-Ilmi, karya Syaikh Muhammad bin Sholeh al-Utsaimin -Rahimahullah.
-       Hilyah Tholibil Ilmi, karya Syaikh Bakr bin Abdillah Abu Zaid –hafidhahullah.
-       Hilyatul ‘Alim Al-Mu’allim Wa Bulghatu Ath-Thalib Al-Muta’allim, karya Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy –hafidhahullah.
-       ‘Audah ‘Ila As-Sunnah, karya Syaikh Ali Hasan al-Atsariy –hafidhahullah.
-       Washiyyatu Muwaddi’, karya Syaikh Husain bin ‘Audah al-‘Awayisyah –hafidhahullah.

(Disampaikan Pada 14 Rabi’uts Tsani 1425 / 23 Mei 2005 Dalam Pengajian Umum INDAHNYA ISLAM 22-24 Mei 2005 di Masjid Raden Patah Universitas Brawijaya Malang).

0 komentar:

Posting Komentar

Design by Abdul Munir Visit Original Post Islamic2 Template